PERCERAIAN
MENURUT UU PERKAWINAN
Angka perceraian semakin meningkat dari
waktu ke waktu. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun
istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi
mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta
penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila
sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian di
Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di
UUP kan dijelaskan, yaitu:
- karena kematian
- karena perceraian
- karena putusnya pengadilan
Dengan demikian, perceraian merupakan
salah satu sebab putusnya perceraian. UUP perkawinan menyebutkan adanya 16 hal
penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam
rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang
pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak
pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun pengadilan Negeri ada
istilah Cerai Talak. Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang disebut
sebagai cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya. Bahkan ada perkawinan yang
putus karena li’an, khuluk, fasikh dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan
ada berbagai macam produknya.
Pada penyebab perceraian, pengadilan
memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari
suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan
sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat 2, dimana salah satu pihak melanggar hak
dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun
tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh,
apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu
yang diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan.
Karena pada dasarnya secara syar’i, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi.
Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu
bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini
Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan sekarang sudah
dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No, 1 Tahun 2002. Seluruh
hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus mengoptimalkan lembaga mediasi
tersebut.
Melalui mediasi tersebut, banyak
permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama, dengan beberapa alasan.
Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, mungkin dari positanya
obscuur atau kabur, dan antara posita dan petitumnya bertentangan. Misalnya,
istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah juga. Sedangkan dalam alasan
perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya tidak memberi nafkah selama
beberapa bulan berturut-turut.
Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan
sejak tahun 2003, membawa banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu
berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi,
hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang
bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq,
sebisa mungkin menggunakan lembaga mediasi.
Alasan-alasan cerai yang disebutkan
oleh UU Perkawinan yang pertama tentunya adalah apabila salah satu pihak
berbuat yang tidak sesuai dengan syariat. Atau dalam UU dikatakan disitu, bahwa
salah satu pihak berbuat zina, mabuk, berjudi, terus kemudian salah satu pihak
meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami
sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu
yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan
verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak
dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan
lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu
pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah stau pihak murtad, maka
perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan.
Sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya
murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya
dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan
ataupun gugatan cerai.
Tata cara pengajuan permohonan dan
gugatan perceraian merujuk pada Pasal 118 HIR, yaitu bisa secara tertulis
maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka
permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila
istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan
dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan
kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku
masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi
wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan.
Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan
talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan
mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk,
namun harus dilihat jenis talaknya terlebih dahulu. Secara umum, talak artinya
adalah kembali. Terdapat dua jenis talak, yaitu talak Ba’in dan talak Raj’i.
Talak Raj’i adalah talak yang diucapkan oleh suami, dan apabila ingin rujuk
dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada akad nikah baru. Cukup adanya
pernyataan dari pihak suami bahwa mereka sudah rujuk. Sedangkan untuk talak
Ba’in, yaitu perceraian karena diajukan oleh sang istri. Talak Ba’in terdiri
atas dua jenis, yaitu Ba’in Kubro dan Ba’in sugro. Talak Ba’in Kubro dapat
diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan (muhalil). Sedangkan untuk
Ba’in Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah atau tidak, tetap harus melalui
akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi pernikahan sebagaimana awal
menikah dulu.
Secara umum, masyarakat hanya mengenal
istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Talak
yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak yang
diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada dua
jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak. Produk Cerai
talak adalah Talak Raj’i, dimana untuk rujuk tidak harus melalui akad baru. Rujuk
dalam Talak Raj’i cukup hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk
dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat adalah talak Ba’in, sebagaimana
yang telah diuraikan di atas. Dalam Talak Bail Kubro, terdapat Li’an dan
dzihar. Li’an artinya adalah sumpah seorang suami dan istri bahwa satu sama
lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap dengan konsekuensi dan
azhab dari Allah, apabila memang benar mereka berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami
yang mempersamakan istrinya dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama saja
dengan mencampuri ibunya. Oleh karena itu, Li’an merupakan perbuatan yang harus
diceraikan dengan talak Ba’in Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib
kumpul dengan istrinya tanpa basa basi. Muhalil tidak boleh disertai dengan
mut’ah
Dalam hal sang istri ingin mengajukan
gugatan, maka hal utama yang harus dipersiapkan oleh sang istri adalah surat
gugatan. Sedangkan untuk cerai talak, kurang lebih sama. Namun yang perlu
dipersiapkan oleh sang suami bukan gugatan, melainkan permohonan untuk
melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk mengajukan cerai talak dan
cerai gugat kurang lebih sama. Hanya saja dalam cerai talak ada satu perbedaan,
yaitu seorang istri yang nusyuz, artinya seorang istri yang tidak taat kepada
suami.
Timbul suatu pertanyaan, mengapa
apabila yang mengajukan cerai adalah perempuan, maka perempuan harus melewati
masa iddhah dan membuat akad nikah baru. Hal ini berpulang bahwa awalnya cerai
talak itu adalah hak dari laki-laki dalam artian suami mohon dilegalkan
perceraiannya dengan alasan-alasan yang disampaikan sesuai dengan alasan hukum
dan UU.
Apabila setelah bercerai baik suami
maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa hukj tersebut akan tercatat
dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya apabila para pihak memiliki
perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan tercatat dalam lembar
terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan instansi yang berwenang,
yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain
mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa
terhadap pemeliharaan anak atau hak hadhonah. Masalah lain yang juga cukup
pelik adalah masalah pemberian nafkah, yaitu sampai kapankah suami wajib
memberikan nafkah terhadap mantan istri setelah mereka bercerai? Apabila talak
tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampe masa
iddhah nya selesai. Dalam hal talak, maka salah satu pihak dapat mengajukan
tuntutan mengenai hak haddhonah dan juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan unik lainnya dalam
Pengadilan Agama adalah apabila pasangan suami sitri menikah secara Islam.
Namun ditengah bahtera rumah tangga, mereka pindah agama. Beberapa tahun
kemudian mereka bercerai. Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 UU
Perkawinan serta merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, telah diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama menyelesaikan
menerima menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara
khususnya tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan pernikahannya
secara agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka telah pindah
agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian tersebut
diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka dilaksanakan
secara Islam.
Banyak pasangan yang membuat perjanjian
pranikah mengenai pemisahan harta. Biasanya masing-masing pihak baik istri
maupun suami membuat perjanjian pranikah yang secara garis besar isinya adalah
tidak adanya percampuran harta. Sehingga apabila mereka meutuskan untuk
bercerai, maka baik istri maupun suami tetap berhak atas harta yang mereka
peroleh selama perkawinan tanpa mengkhawatirkan adanya upaya pengambilalihan
oleh pihak lain. Apabila mereka bercerai, maka perjanjian pranikah tersebut
dapat langsung dieksekusi, yaitu setelah perkara percerain telah memiliki
putusan yang berkekuatan hukum tetap.
ngin mengajukan gugatan perceraian ataupun permasalahan hukum keluarga dan anak lainnya? Kami siap membantu Anda. Jasa Pengacara :
- Wulandari SH, No. Telp/WhatsApp : 0877-7468-7402
- Latief SH (Pengacara), No. Telp/WhatsApp : 0878-7872-2282
free konsultasi klik www.pengacaraperceraian.com